tahukah Anda ... ???
Hari Nelayan Indonesia yang diperingati hari ini, 6 April, bagai menguak riwayat ”urat nadi” negeri bahari ini. Belenggu kemiskinan dan keterbelakangan hingga kini belum beranjak dari kehidupan nelayan. Ketidakpastian penghidupan membuat sebagian nelayan kecil beralih profesi ke sektor informal.
Berdasarkan data Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan (Kiara), tahun 2003-2008, sekitar 1,2 juta nelayan
tangkap sudah meninggalkan laut. Sebagian dari mereka beralih profesi ke sektor
informal di luar perikanan tangkap, misalnya menjadi buruh bangunan, buruh
pabrik, atau tukang ojek.
Keterbatasan bahan bakar
minyak, jeratan utang ke tengkulak, permainan harga jual ikan, dan terbatasnya
daya serap industri pengolahan ikan menjadi persoalan klasik yang mendera
nelayan hingga hari ini.
Kasus penangkapan ikan ilegal
di perairan Indonesia oleh nelayan asing, penangkapan ikan dengan alat tangkap
yang merusak lingkungan, dan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan adalah
lingkaran setan yang menggerogoti daya saing nelayan kecil dan tradisional.
Di sisi lain, ratusan nelayan
asal Indonesia ditangkap oleh otoritas keamanan Australia karena dianggap
memasuki perairan Australia.
Saat ini, jumlah nelayan
Indonesia berkisar 2,7 juta jiwa, 80 persen di antaranya nelayan skala kecil
dan tradisional dengan kapasitas kapal di bawah 30 gross ton (GT).
Pemerintah menggagas upaya
pengendalian penangkapan ikan dan mengurangi kepadatan penangkapan di sejumlah
wilayah pengelolaan perikanan dengan mendorong penangkapan ke laut lepas.
Caranya, melalui restrukturisasi dan modernisasi armada kapal kecil agar
nelayan bisa menjelajah lebih dari 12 mil sampai ke laut lepas.
Anggaran merestrukturisasi
kapal tahun 2011 diusulkan Rp 1,5 triliun, guna mengganti 1.000 perahu tanpa
motor milik nelayan kecil menjadi kapal motor berbobot lebih dari 30 GT beserta
alat tangkap ikan.
Upaya lain, menekan penangkapan
berlebih dengan menggeser fokus peningkatan produksi dari perikanan tangkap ke
perikanan budidaya.
Dalam periode 2009-2014,
Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan target ambisius menaikkan
produksi perikanan 353 persen dengan program andalan, minapolitan.
Tahun 2010, pemerintah
menargetkan pembentukan 28 kawasan minapolitan dengan titik berat komoditas
unggulan perikanan budidaya, seperti rumput laut, patin, lele, udang, nila, dan
kerapu.
Program minapolitan dirancang
sebagai sinergi Kementerian Kelautan dan Perikanan dan kementerian teknis lain,
seperti Kementerian Pekerjaan Umum untuk penyediaan infrastruktur, serta
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk pasokan bahan bakar minyak.
Adapun minapolitan mengarah
pada kawasan perikanan terintegrasi, yang terdiri dari fasilitas pemasaran,
perdagangan, serta sarana dan prasarana pendukung usaha. Dalam satu wilayah
kabupaten/kota dimungkinkan terdapat beberapa sentra produksi unggulan.
Kepala Riset Pusat Kajian
Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana menilai, program peningkatan
produksi budidaya justru kontraproduktif dengan upaya pengendalian perikanan
tangkap sebab 60 persen komponen pakan ikan bersumber dari ikan laut.
Jika dibanding program
agropolitan yang sudah dikembangkan Kementerian Pertanian pada 2002, inti
minapolitan tak jauh berbeda, yakni kawasan pengembangan ekonomi berbasis
komoditas unggulan.
Pada periode pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid, Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan
mencanangkan peningkatan produksi ikan tahun 2003 menjadi 9 juta ton dengan
target nilai ekspor 10 miliar dollar AS.
Namun, data Organisasi Pangan
Dunia (FAO) menunjukkan, produksi ikan nasional tahun 2003 hanya 5,8 juta ton
dengan nilai ekspor kurang dari 1,7 miliar dollar AS.
Pada masa pemerintahan Presiden
Megawati Soekarnoputri dicanangkan program Gerbang Mina Bahari, yang targetnya
sama. Produksi ikan nasional ditargetkan 9,5 juta ton pada 2006 dan nilai
devisa 10 miliar dollar AS. FAO merilis, realisasi produksi ikan tahun 2006
hanya 6,2 juta ton senilai 2 miliar dollar AS.
Pada periode pertama
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah kembali mencanangkan
program serupa dengan nama revitalisasi kelautan dan perikanan dengan target
produksi tahun 2009 adalah 9,7 juta ton dan nilai ekspor 5 miliar dollar AS.
Sekjen Kiara Riza Damanik
mengingatkan, program restrukturisasi kapal nelayan kecil dikhawatirkan akan
sia-sia sebab tidak mudah mengubah karakter nelayan kecil yang terbiasa
menangkap di perairan sejauh maksimum 4 mil ke laut lepas.
Selain itu, restrukturisasi ke
kapal berbobot besar membutuhkan tambahan modal bahan bakar yang belum tentu
bisa dipenuhi nelayan.
Apalagi nilai jual ikan masih
rendah karena sebagian besar dipasarkan dalam bentuk utuh. Utilitas pabrik
pengolahan hanya 70 persen membuat produk ikan sulit memiliki nilai tambah.
Sebagai ilustrasi, nilai ekspor
perikanan Indonesia sekitar 2,3 miliar dollar AS. Pada tahun yang sama, nilai
ekspor perikanan Vietnam dengan suplai ikan yang jauh lebih sedikit sebesar 3,4
miliar dollar AS, karena didukung 335 industri pengolahan dengan kapasitas
optimal.
Upaya nyata menolong nelayan
dari jerat kemiskinan adalah membenahi sektor tangkap dari hulu ke hilir. Upaya
itu mulai dari perlindungan wilayah tangkap nelayan tradisional agar tidak disusupi
nelayan besar yang mengeruk ikan di wilayah tangkapan nelayan kecil.
Selain itu, dibutuhkan
pembenahan pendataan hasil tangkapan ikan. Ini agar ikan tidak diselundupkan
dan ada jaminan pasokan bahan baku ke industri pengolahan.
Di sisi lain, pemerintah perlu
mendorong pertumbuhan industri pengolahan di sentra-sentra produksi. Usaha
pengolahan tidak hanya di skala kecil menengah berupa ikan bakar dan asap,
melainkan juga skala industri besar dengan produk olahan yang lebih bervariasi.
Kebijakan penghapusan retribusi
perikanan yang memberatkan nelayan harus diwujudkan. Jangan sampai kebijakan
itu hanya menjadi wacana di tingkat pemerintah pusat, tetapi minim implementasi
di tingkat daerah.
Segala keberpihakan itu
dibutuhkan jika pemerintah serius menolong nelayan terbebas dari jerat
ketertinggalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar